[IFI Freelance] Just One and Only You (Vignette)

Just One and Only You

(Poster © IndriDevagate) 

Just One and Only You by Mim
Cast: Kim Hanbin | Lee Hayi
Genre: Fluff
Length: Vignette
Rate: T

Disclaimer:

Komentar? Wajib! Silent Readers? Makruh! Share? Sunnah! Plagiator? HARAM!

“Percayalah, hatiku milikmu.”

Pria ini berjalan dengan menggenggam segelas Latte. Matanya terlihat lesu memandang gadis yang mengayunkan kakinya riang. Sambutan ceria pria ini dapatkan karena gadisnya benar-benar mengharapkan segelas Latte itu sekarang.

“Kau lama sekali, Hanbin,” bukankah seharusnya Hanbin mendapatkan terima kasih?

“Aku harus mengantri, Hayi-ah.”

“Bahkan, Bobby bisa melakukannya dalam lima menit saja. Bukan hanya itu, dia membawakanku cracker penuh dengan keju juga. Sedang kau, entahlah,” gadis ini berujar tanpa melihat lawan bicaranya. Kalimatnya keluar sebelum dia menyesap Latte nya.

Hayi menegakkan badan dan menggandeng Hanbin berdiri. Hanya berdiri, selebihnya mereka berjalan beriringan tanpa tautan tangan. Gadis manis ini bersikap menyebalkan beberapa hari terakhir. Selalu ada yang dia bandingkan dengan Hanbin. Entah Bobby yang sangat pengertian, Jinhwan yang lembut, Yunhyeong yang manis, Donghyuk yang ramah, Chanwoo yang hangat, bahkan Junhoe yang sok keren itu Hayi bandingkan dengannya.

Pandangan sinis Hanbin terus saja mengekori pergerakan gadisnya. Sebal memang mandapati Hayi bersikap seperti itu, tapi bagaimana lagi? Banyak hal yang tidak bisa Hanbin lakukan dibanding orang-orang itu, tapi oh ayolah! Hanbin juga tidak seburuk itu.

“Oh, Hanbin-ah, aku ingin permen kapas itu,” Hayi menghentikan langkahnya melihat jajaran permen kapas yang terbungkus apik berwarna merah jambu. Matanya berbinar dan menarik jemari Hanbin untuk lebih mendekat. Sedang Hanbin masih diam di tempat.

“Bukankah kau tidak akan habis memakannya?”

“Kau bisa membantuku kan, Kim Hanbin?” Hayi paling pandai menatap Hanbin dengan raut mengancam.

“Bantu makan? Aku tidak suka manis.”

“Ish! Jinhwan tidak pernah mengeluh jika aku meminta sesuatu darinya.”

“Jinhwan memang suka ma…”

“Pelit!”

Dan pada intinya gadis ini meninggalkan Hanbin. Lagi-lagi, dengusan kasar milik Hanbin terhempas begitu saja. Pria ini merogoh sakunya dan kini dia sudah mendapatkan apa yang diinginkan Hayi. Dia kembali mengikuti langkah gadisnya.

“Untukmu.”

Hayi mendongak mendapati benda merah jambu di hadapannya. Lensa hitam miliknya berbinar dan mulut mungilnya segera padat dengan benda lembut itu. Hanbin hanya menggelengkan kepala sambil turut duduk di samping Hayi. Sekali lagi Hanbin hanya menggeleng ketika Hayi menyodorkan benda itu.

“Habiskan,” celetuk Hanbin lembut.

“Apa kau tak mau mencobanya?”

“Sudah kubilang, aku tidak suka…”

“Arasseo, Hanbin-ssi,” selalu seperti ini.

Entah apa yang membuat Hayi jarang memandang Hanbin ketika berbicara. Matanya terlalu fokus pada benda yang menarik perhatiannya. Apakah Hanbin tidak cukup menarik perhatian Hayi? Oh sungguh, bahkan seantero sekolah tahu bagaimana pesona Hanbin.

“Busnya lama sekali,” Hayi merutuk lagi, merengek lagi.

“Tunggulah sebentar lagi, kau boleh bersandar padaku jika lelah,” Hanbin menepuk bahunya sendiri.

“Yunhyeong akan mengusap rambutku lembut, dan itu bisa menenangkanku, Hanbin.”

“Haruskah aku menirunya?” suara Hanbin jelas terdengar kesal.

Hayi tak banyak bicara, dia segera menyandarkan kepalanya di bahu pria ini. Kakinya kembali berayun dan mulutnya masih mengecap benda manis di tangannya. Hanbin memandang Hayi dari samping, gadis ini sangat manis. Dan rasa sukanya tidak berkurang walau Hayi bersikap seperti ini.

“Busnya datang!” kepala gadis ini mendongak riang.

“Kemarikan tasmu, Hayi-ah.”

Gadis itu menyerahkan tasnya pada Hanbin, kemudian masuk ke dalam bus. Di sapanya ahjussi supir bus sebelum dia benar-benar mendudukkan dirinya di samping Hanbin. Pandangan sinis Hayi hadiahkan pada Hanbin yang baru saja meletakkan earphone di telinganya.

“Kenapa lagi?”

“Donghyuk lebih ramah darimu.”

“Memangnya apa yang dia lakukan?”

“Menyapa ahjussi itu.”

Telunjuk Hayi mengarah pada supir bus di hadapan mereka. Ah, Hanbin benar-benar lelah. Dia tidak membalas perkataan Hayi dan sibuk mendengarkan konser melalui benda yang bertengger manis di telinganya. Gadis ini sedikit kesal, namun pada akhirnya meletakkan kepala di bahu Hanbin.

Langkah kaki mereka selaras melewati jajaran rumah di kanan-kiri mereka setelah turun daru bus dengan selamat. Hanya kediaman yang mengisi, Hayi sibuk melangkah, Hanbin sibut menenteng dua tas punggung miliknya dan Hayi. Tak masalah, Hanbin suka melakukannya untuk Hayi.

Deg!

Jantung Hanbin berdegup tidak normal karena Hayi membalikkan badannya dan hampir membuat mereka bertabrakan. Hanya berkedip yang bisa Hanbin lakukan, kemudian sedikit ber-deham dan memundurkan badan agar jarak antar mereka masih ada.

“Kenapa kau diam saja hari ini, Kim Hanbin?”

“Memangnya ada yang perlu dibicarakan?”

“Ish! Chanwoo selalu menceritakan berbagai hal, jadi ketika di dekatknya aku tak akan merasa sepi.”

“Oh ayolah, Hayi. Kau ingin aku bercerita apa? Tidak ada yang aku ceritakan, aku bahkan hidup beberapa blok dari rumahmu. Kau tahu apa saja tentangku dan aku pun begitu. Haruskah kita berbagi cerita sehari-hari lagi?”

Bibir mungil Hayi mewakili kekecewaannya dan kakinya memutuskan melangkah meninggalkan Hanbin. Apa dia salah lagi? Hanbin jujur atas apa yang dia katakan, memang begitu kenyataannya. Bahasan yang sering mereka bicarakan pasti tentang musik, pelajaran, film, atau hal lain. Bukan kehidupan sehari-hari yang Hayi dan Hanbin saling ketahui.

Tetap saja, Hanbin bisa menyusul Hayi sampai pagar rumahnya. Gadis ini meraih tas miliknya, tidak semudah itu karena Hanbin menepis pelan tangan Hayi. Apa lagi sekarang? Hanbin membuat hatinya kesal dengan bersikap seperti ini.

“Oh, Hayi eonni, Hanbin oppa,” suara gadis membuat pertengkaran tanpa suara itu sedikit mereda.

“Suhyun,” ucapan mereka hampir keluar bersamaan.

“Annyeong,” sapa gadis itu kembali.

“Kau, kapan kau datang kemari? Kau akan tinggal di sini lagi?” suara Hayi berubah lembut begitu saja.

“Sepertinya begitu, dan aku bertetangga denganmu, Hayi eonni.”

Hanbin menyerahkan tas milik Hayi, yang membuat Suhyun menatap mereka dengan aneh. Yang diapandang aneh hanya membalas dengan memandang Suhyun datar. Kediaman merambah di antara mereka sebelum decakan keluar dari bibir Suhyun.

“Apa kalian masih sedekat ini?”

“Biasa saja,” Hayi berkata dingin dan dihadiahi Hanbin dengan pandangan heran.

“Benarkah oppa?” pandangan Sunhyun beralih pada Hanbin.

“Aku tidak yakin hubungan ini biasa saja, mengingat Hayi selalu menyapaku dengan sebutan ‘chaggi’ tiap paginya. Benar kan, Hayi-ssi?”

“Ah, begitu. Baiklah, aku hanya menyapa kalian, semoga hari kalian menyenangkan. Annyeong Hayi eonni, Hanbin oppa.”

Salam Suhyun tak dihiraukan oleh dua orang yang sedang beradu mata ini. Mereka sama-sama memandang sinis, tidak ada suara sama sekali. Hanbin menyilangkan tangannya, sedang Hayi berkacak pinggang. Mereka saling menunjukkan bahwa mereka mampu memandang sinis seperti sekarang.

“Bisakah kau bersikap keren sedikit seperti Junhoe?”

Hanbin menggeleng, masih memandang intens Hayi. Sedang gadisnya hanya tertawa sinis pada. Tentu saja! Tidak ada yang sekeren Junhoe dan sedingin pria itu. Tapi, Hanbin tak perduli. Hanbin hanya mencoba bersikap apa adanya.

“Jadi apa yang bisa kau lakukan, Kim Hanbin?”

“Hayi-ah.”

Mwo?

“Bisakah kau tidak membandingkan aku dengan mereka?”

Suara Hanbin melunak walau tangannya tak juga turun dari dada bidangnya. Hayi yang malah kini menormalkan caranya berdiri dan tak lagi berkacak pinggang. Wajah prianya sedikit sendu, tapi Hanbin sendiri juga tidak bergeming.

“Aku bukan orang sempurna, aku manusia biasa. Jangan membandingkan ku dengan yang lain, aku merasa sakit sendiri. Bukan karena aku iri, hanya aku tidak bisa membahagiakanmu seperti mereka. Sungguh, aku hanya takut kau beralih dariku, Lee Hayi.”

Gadis ini tersenyum, kakinya lebih mendekat ke Hanbin. Detik itu juga Hanbin baru bisa menormalkan caranya berdiri. Terlambat jika dia harus memundurkan badan, karena jemari Hayi telah meraih pipinya. Telapak gadisnya begitu hangat, Hanbin menyukainya.

“Kau tahu kenapa aku menyulitkanmu akhir-akhir ini, Kim Hanbin-ssi?”

Hanbin hanya menggeleng, wajah polosnya benar-benar manis. Jika saja Hanbin adalah sebuah apel, Hayi tak akan segan menggigitnya sampai habis tak tersisa. Dia menarik wajah Hanbin, menyentuhkan hidung mereka dan menimbulkan rona merah pada pipi Hanbin.

“Hanbin-ah.”

“Oh…?”

“Berhitunglah setiap kali aku menyelesaikan kalimat.”

“Kenapa?”

“Akan aku berikan alasan kenapa aku bersikap menjengkelakan akhir-akhir ini.”

Hanbin mengangguk paham, mulutnya menganga seperti biasa. Hayi masih mengembangkan senyumnya mendapati pria ini semakin manis jika polos seperti sekarang. Hayi menarik nafasnya, menghembuskannya perlahan kemudian.

“Aku rindu padamu, Hanbin-ah. Aku membandingkanmu dengan Bobby yang mampu membawakan Latte dalam lima menit, tapi dia tidak bisa menemaniku sepanjang hari sepertimu.”

“Sa… tu.”

“Aku rindu padamu, Hanbin-ah. Aku membandingkanmu dengan Jinhwan yang lembut, memberikanku permen kapas kapanpun aku mau. Ah, berbeda denganmu yang tahu kesehatanku, porsi makanku, sehingga mampu mengontrolku memakan sesuatu.”

“Du… a.”

“Aku rindu padamu, Hanbin-ah. Aku membandingkanmu dengan Yunhyeong yang manis karena selalu mengusap rambutku. Kau memberiku lebih, kau mau meminjamkan bahumu padaku.”

“Tiga.”

“Aku rindu padamu, Hanbin-ah. Kau tidak bisa ramah pada ahjussi di bus seperti Donghyuk, tapi kau selalu membungkuk pada orang yang lebih tua tanpa bersuara. Aku tahu itu.”

“Empat.”

“Aku rindu padamu, Hanbin-ah. Kau tidak bisa cerewet seperti Chanwoo, kau pendengar setiaku. Segala perasaanku kau dengarkan, aku lebih nyaman seperti itu.”

“Lima.”

“Aku rindu padamu, Hanbin-ah. Kau tidak bersikap sok keren seperti Junhoe, karena kau pria yang manis.”

“Enam.”

“Dan, aku sangat merindukanmu, Hanbin-ah. Kau benar-benar pria yang membuatku bersyukur karena telah bertemu denganmu, sedekat ini denganku, dan menghabiskan hari-hari bersamamu. Kau menyenangkan, aku menyayangimu.”

“Aku juga menyayangimu, Lee Hayi.”

“Maaf merepotkanmu, aku hanya melampiaskan rinduku. Percayalah, hatiku seutuhnya milikmu.”

Hanbin tersenyum, jemari Hayi masih enggan terlepas dari pipinya. Tidak lagi, karena bukan jemari Hayi yang menempel pada pipinya. Melainkan hidung dan bibir hangat Hayi. Gadis ini memundurkan badannya dan membuahkan senyuman pada sudut bibirnya. Tangannya melambai hingga dia masuk ke dalam rumahnya meninggalkan Hanbin yang masih belum menutup mulutnya.

-FIN

31 pemikiran pada “[IFI Freelance] Just One and Only You (Vignette)

  1. jujur aja gue pengen cakar-cakar ayam pas hayi bandingin hanbin sama yang lain. enak aja bandingin laki sendiri sama laki orang /cakarin tembok tetangga/

    tapi pas di akhir hayi ngasih alesan kenapa dia bandingin hanbin sama yang lainnya…. oh god sweet bangettttt <3<3<3<3

    no comment lah kerennn!!

    Suka

  2. aw aw aw.. puing puing~~ pas di akhir nyentuh banget mim… tapi waktu di awal kok aku malah kesel banget sama hayi. dia cerewet, tak tau terima kasih dan tak berperikehanbinan(?).

    Suka

  3. its too late to cumment but, APA APAAN INI KOK AKU JADI SUKA HANBIN HAYI. yang awalnya aku lebih suka hanbin jennie omg

    mana dapet lagi laki kaya gitu aduh hayi, awalnya sempet kesel juga sama yang bandingin itu padahal dari awal sikap hanbin cool kalem gitu ah. settingan nya berasa di mv im diffrenet serius apa aku doang yang mikir kaya gitu? dan satu lagi, aku jadi mikir keras bagian canu yang katanya hangat terus cerewet. jadi pengen di cerewetin._.
    okaaay, keep writing ku tunggu hayi hanbin selanjutnya

    Suka

  4. Ping balik: Recommended Fanfiction | Midnight Lunar

Tinggalkan komentar