[Vignette] BONNIE & CLYDE

moodboard_junexrose_bonnieclyde

BONNIE & CLYDE

Kwonbinology presents.

BLACK PINK Roséanne Park as Rosé, iKON Koo Junhoe as June, NCT Jung Jaehyun as Jae / Psycho, Romance, Angst, AU! / Vignette / PG-13

Soundtrack: Bonnie & Clyde – DEAN

Alright
Even if this is the wrong choice
Alright
Even if i regret it after
Baby
Ooh you’re going back to the guy who made you cry
Ooh the result is already out of my hands
Bang Bang!

Right now Right now
Could I tell you right now?
Are you still awake
How was your day today?
Nothing happened? What do you mean
Sometimes I look away
But it isn’t easy
I know I know everything
In front of me, you pretend to not

Seorang lelaki bermata tajam duduk di sofa kulit hitam. Kaki kanannya dinaikkan di atas kaki kiri, tangan kanannya menyesap cerutu—asapnya mengepul kemudian memudar. Matanya menatap nanar televisi tabung yang layarnya persis seperti dikerubungi semut—hitam, dengan begitu banyak bintik-bintik putih bergerak tak beraturan. Telinganya mendengarkan suara pop-pop-pop dari dapur, kemudian suara kompor dimatikan, dan langkah kaki lembut berjalan ke arahnya.

Seorang gadis bertubuh ramping duduk di sampingnya, dengan semangkuk popcorn asin—persis kesukaannya. Tangan kiri lelaki tadi kemudian merangkul bahu gadis itu. Mata tajamnya kini menatap gadis itu yang sedang makan popcorn dalam diam. Gadis itu lebih menyukai karamel, tapi tanpa keluhan ia tetap mengunyahnya.

“Rosé.” Suara berat lelaki itu meluncur pelan, membuat gadis pemilik nama tersebut bergidik.

“Hm?”

“Kau kenapa?” Tanya lelaki itu, kali ini mendekatkan bibirnya ke telinga Rosé —berbisik.

“Aku tidak apa-apa.” Rosé mendorong wajah lelaki itu pelan.

Aura lelaki itu terlalu kuat jika ia berada sedekat ini. Aura gelap yang mematikan, namun menarik dari beberapa sisi.

“Kau bertemu dengannya lagi hari ini?” Lelaki itu kembali bertanya.

“Bagaimana kalau kita menonton film?” Rosé menyodorkan tape yang sudah entah berapa puluh kali mereka tonton bersama. Namun lelaki itu tak menolak.

Rosé beranjak untuk memainkan tape itu di televisi. Namun tangan kekar lelaki itu menahan pergelangan kecilnya.

“Sampai kapan kau mau mengalihkan pembicaraan?”

“Aku—”

“Berhenti bertemu dengannya lagi.” Lelaki itu berbicara dengan nada rendah—dalam, namun tetap terkesan memerintah.

Ada segelintir emosi di mata Rosé, namun dengan cepat ia mengubah raut wajahnya menjadi setenang air. Jari-jemari lentiknya mengusap pipi lelaki itu, lalu berkata tak kalah rendahnya, “Aku di sini, Jun. Tak ada yang perlu kau khawatirkan.”

June—lelaki itu, tertawa kecil sejenak setelah Rosé melepaskan jemarinya.

“Kau bisa melafalkan namaku dengan benar sekarang. Rasanya baru kemarin kau salah menyebutkannya.”

 

Setahun yang lalu.

Rosé hanyalah kasir di sebuah minimarket yang sepi pengunjung. Letaknya di pinggir jalanan tandus yang kalaupun disebutkan nama daerahnya, kau tak akan tahu tempatnya di mana. Kala itu, di suatu malam yang dingin, tak ada angin maupun hujan, tiba-tiba sebuah mobil sedan hitam antik berhenti di depan minimarketnya.

Lonceng kecil berbunyi menandakan seseorang masuk ke dalamnya. Rosé mengangkat wajahnya dengan sedikit terkejut, segera melipat surat kabar entah terbitan kapan yang berada di genggamannya. Matanya menangkap sosok bertubuh tinggi, berahang tegas, alis tebal, hidung terukir secara sempurna. Dan matanya, Ya Tuhan, Rosé berani bertaruh mata itu menghentikan detak jantungnya entah beberapa milisekon. Lelaki itu mengenakan kaus putih polos di balik jaket hitam kulitnya. Rambutnya tersisir rapi, hitam mengkilat.

Seksi. Aura itu yang ia dapatkan dalam kedipan pertama.

Semakin mendekat lelaki itu ke arah meja kasir tempat Rosé berada, semakin bau parfum maskulin menguar memenuhi udara. Rosé dapat melihat lelaki itu mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru minimarket yang terlihat menyedihkan, sejujurnya. Tapi tak lama kemudian, lelaki itu mengalihkan pandangannya ke arah Rose.

“Camel?”

Rosé mengerutkan dahinya. “Sorry?”

Cigarettes?” Lelaki itu menaikkan sebelah alis matanya.

“Oh.” Rosé segera mengambil sekotak rokok bermerek Camel yang diminta lelaki itu dari rak. Ia segera menyodorkannya ke lelaki itu.

“25 dolar.” Ujarnya dengan intonasi standar saat kasir melafalkan harga produk.

Namun lelaki itu tak menghiraukannya. Ia malah langsung membuka kotak rokok tersebut dan menghidupkannya dengan pemantik api yang berada di saku celananya. Ia menghisap rokok tersebut perlahan-lahan dengan mata terpejam.

“25 dolar.” Ulang Rosé, masih dengan wajah datar yang ia pasang sedari tadi.

“Kapan terakhir kali pengunjung datang ke sini?” Tanya lelaki itu.

Rosé mengerutkan dahinya. “Memangnya kenapa?”

Lelaki itu mengangkat bahunya. “This minimart looks kinda gloomy. I’m just asking, though.”

Rosé hanya terdiam.

“Ditambah koran kabar terbitan setengah tahun lalu di mejamu, dan lagu lama yang terputar di radiomu… ah, at least you looks beautiful.

Sekilas senyum terukir di bibir lelaki itu. Rosé hanya memutar bola matanya—tampak tak tertarik.

Tapi sejujurnya lelaki itu tak berbohong. Perempuan di depannya itu terlihat memikat, dengan rambut coklat bergelombangnya, dan matanya, Ya Tuhan. June bersumpah mata itu adalah mata paling menyihir yang pernah ia lihat

“Apa yang kau lakukan sehingga melewati jalanan ini?” Tanya Rosé.

Lelaki itu mengeluarkan senyuman miring.

“Berpetualang, mencari kesenangan, and stuff.”

Rosé mengerutkan dahinya.

You’re so random.”

Lelaki itu memasang wajah terkejut sebentar, kemudian tertawa. Baru kali ini ada seorang gadis yang mengatakan dirinya random.

“Apa yang kau lakukan sehari-hari di sini?” Kini giliran lelaki itu yang bertanya.

“Menjadi kasir, apa lagi?” Rosé menjawab dengan intonasi seakan-akan pertanyaan itu begitu bodoh hingga tidak perlu ditanyakan.

Wow. Your intonation makes me feel like it’s my first try to tease pretty girls.” June tertawa kecil. Ia kemudian mengeluarkan sebuah foto dari sakunya, menaruhnya di meja kasir.

Rosé meraih foto itu. Terlihat di sana June duduk di kursi kemudi mobil sedan putih, dengan long-sleeve shirt abu-abu. Di balik foto itu tertulis satu kata. June.

“Jadi namamu June?” Rosé mendongakkan kepalanya.

“Bukan June seperti kau melafakan bulan juni. Tapi June. Ju-Ne.” Jelas June.

“Namamu?” Kini June sudah menopang dagu di meja kasir, menatap Rosé dengan mata membunuhnya.

“Apa kepentinganmu untuk mengetahui namamu?”

Shit. Girl, it’s just your name, not your phone number or address or stuff.” June membelalakkan matanya.

Rosé akhirnya meraih pulpen dari dekat mesin kasir, kemudian membubuhi tanda tangan di balik kertas foto tadi beserta satu kata namanya. Rosé.

“Rose?” Gumam June.

“Bukan Rose seperti kau melafalkan bunga mawar. Tapi Rosé. Ro-sé.” Gadis itu mengoreksi dengan kalimat seperti yang dilontarkan June barusan, membuat June tersenyum kecut.

 

Rosé merasa kejadian itu baru terjadi kemarin—kejadian tak terduga yang menjungkir-balikkan hidupnya yang awalnya memang susah, namun tak ada masalah selain masalah finansial. Sekarang ia hidup berkecukupan, dengan stiletto Christian Louboutin di kakinya (yang ia hitung-hitung harganya bisa membayar uang sekolahnya—jika saja dulu ia bisa bersekolah, well.), dan tentu saja hidup bersama sesosok lelaki tampan. Lelaki yang menjadi surga sekaligus neraka baginya—malaikat penolong sekaligus monster menakutkan.

Ia tidak tahu apa yang membuatnya meraih tangan lelaki bernama June itu saat ia menawarkan Rosé ikut bersamanya. Meninggalkan semua kehidupan datarnya dahulu, demi sebuah perjalanan roller-coaster yang tak ia ketahui arenanya. Rosé merasa senang dengan pilihannya; ia bisa pergi mengunjungi tempat-tempat menakjubkan, bisa berada dalam rengkuhan lelaki tampan itu, hidup berkecukupan, dan semua hal yang dulu ia inginkan. Ia bisa saja menemukan ketenangan. Asal yang ia jalani sekarang—yang June sebut dengan ‘Berpetualang, mencari kesenangan, and stuff’—bukan menarik uang di bank tanpa izin, atau membawa lari sedan terbaru di pinggiran jalan, juga bersembunyi di dalam truk produk makanan karena polisi mengintai di luar sana. Asal lelaki yang setiap hari bersamanya bukanlah lelaki berwajah tampan nan posesif yang rengkuhannya terasa nyaman, namun dalam sekejap bisa jadi sebuah ancaman.

Rosé tahu ini semua salah, namun lari barang selangkah pun ia tak mampu.

Atau bahkan, terkadang, tak mau.

 

 

Hit the accelerate so we have no worries
So nobody can recognise you Ah yeah
Speed put at the maximum
A rolling stones song Play on
But No matter what song I play
Already in your heart
Crying has already filled it
No song could save that

Rosé segera mengenakan sunglasses miliknya ketika June memacu Ferrari California yang mereka kendarai dengan kecepatan maksimum. Rosé tak mengerti lagi apa yang ada di pikiran lelaki itu—mereka tidak sedang melakukan pelanggaran kriminal hari ini, tidak dikejar aparat, juga tidak dimata-matai. Jalanan perbatasan kota yang mereka lintasi sekarang lengang, bahkan lagu yang diputar June di radio dapat terdengar begitu jelasnya di tengah desau angin. Rosé juga tidak tahu dan tidak mau tahu alasan laki-laki di sebelahnya itu bertindak seakan-akan mereka akan lari meninggalkan dunia ini. Pola pikir June lebih rumit dibandingkan dengan pola pikir wanita di seluruh dunia ini, dan masih banyak hal lain yang harus Rosé pikirkan dibandingkan itu.

Seperti tunangannya yang ia temui kemarin, misalnya.

June secara konstan memperlambat laju mobil. Ia melirik Rosé yang melihat ke arah yang berlawanan dengan dirinya. Mata gadis itu tersangkut pada pemandangan di sisi jalan—yang menurut June tak ada sisi estetikanya sama sekali. June mengganti saluran radio, dan secara tak terduga yang terputar adalah salah satu lagu favorit Rosé. June kembali melirik gadis itu, berharap ada sedikit reaksi darinya. Namun nihil; Rosé masih memilih menopang dagunya di pintu mobil. June bahkan bisa merasakan mendung, walau matahari bersinar terik.

 

I’ll hold you
Even when the world turns its back on you
You can lean on me Oooh
We are no more than friends
I know I know Woo

 

“Rosé.” Rosé dapat mendengar suara serak June melafalkan namanya, hingga ia mau tak mau harus menoleh. Matanya menangkap profil wajah June dari samping—rambutnya yang berantakan karena angin, mata tajamnya yang fokus, hidungnya yang terpahat sempurna, bibirnya yang indah.

“Terima kasih.” Kata June—matanya masih terkunci pada jalanan di depan.

“Untuk?” Rosé mengerutkan dahinya. Ia memang sudah terbiasa dengan sikap bunglon June—semalam seperti monster, kemudian esoknya bagaikan permen kapas—namun tetap saja itu tak membuatnya berhenti bingung.

“Semuanya. Untuk berada di sisiku saat seluruh dunia memusuhiku.” June bergumam dengan intonasi datar, seakan-akan ia hanya memberitahu informasi basa-basi.

Bohong kalau Rosé tak tersenyum, walau tanda tanya masih menghantui benaknya.

You always can lean on me.” Jawab Rosé.

June mengeluarkan senyum tipisnya. Ia sebenarnya benci mengalah dan pura-pura menganggap enteng masalah yang lalu. Ia hanya tak ingin perang dingin dengan Rosé dalam jangka waktu yang lama. Itu menyiksanya.

You’re literally my Bonnie.” June menggenggam jemari lentik Rosé. “My ride or die friend, a gorgeous bitch I can’t live without, could be my reason to die.”

Rosé terdiam, mencerna perkataan June.

Then you’re my Clyde, sahut Rosé dalam hati. My heaven and my hell, my healer and my killer, a handsome bastard I am addicted to, could be my reason to die… softly.

 

 

Bonnie and Clyde
Bonnie and Clyde
One night
Whocares Whocares
Just friends Just friends Alright
Whocares Whocares
Come quickly come quickly Alright
Whocares Whocares
Till we die till we die Oh
Even if this is our last day together

Rosé membanting pintu Mini Coopernya kemudian berjalan ke depan pintu fast food restaurant tempat seseorang telah menunggunya. Mereka berdua menyepakati Burger King di pinggir kota sebagai tempat pertemuan—karena jauh dari aparat yang bisa kapan saja meringkus Rosé, sepi pengunjung, dan mudah-mudahan saja tak dapat ditemukan June. Rosé merapatkan masker dan baseball cap putihnya sembari mencari seseorang. Ia menemukan sosok itu di pojok kanan restoran, dengan kaus bergaris-garis dan baseball cap hitam.

“Hai Jae.” Sapa Rosé dari balik maskernya, membuat lelaki yang telah menunggunya itu mendongak. Ia langsung duduk di kursi yang berada di hadapan lelaki itu.

“Hai juga.” Lelaki bernama Jae itu tersenyum ketika mendapati sosok Rosé.

Rosé melirik meja di depannya. Sudah ada cheeseburger favoritnya di meja beserta satu cup diet coke. Hal itu mengulas senyum di bibir Rosé. Lelaki di depannya masih ingat hal-hal kesukaannya.

“Terima kasih.” Kata Rosé.

Jae hanya tersenyum. Matanya segera menilik jemari tangan kiri Rosé. Ia menghela nafas lega, melihat cincin bertahta berlian mungil masih tersemat di jemari lentik gadis itu.

“Jadi, apa yang mau kau bicarakan?” Tanya Rosé, sambil meminum kola.

“Buru-buru sekali, eh?” Jae berseloroh, tertawa kecil.

Rosé mau tak mau tertawa pelan. Ia sebenarnya ingin sekali berlama-lama di sini, menghabiskan waktu mengobrol berjam-jam dan bersenandung mengikuti lagu yang diputar di restoran cepat saji ini. Tapi ada yang menghalanginya untuk melakukan itu semua, tentu saja.

“Aku berdalih berbelanja di grocery store. June sedang tidur tadi.” Jelas Rosé tanpa diminta.

Tanpa menyebutkan alasan gadis itu buru-buru, Jae-pun sudah mengerti.

Keheningan menyelimuti mereka berdua. Rosé sibuk dengan cheeseburgernya, sementara Jae tak henti-hentinya memandangi Rosé sedari tadi—merekam bagaimana mata indah itu melihat sekitar, rambut coklat gelap bergelombangnya yang menawan, semua tentangnya. Seakan-akan setelah momen ini ia tak dapat lagi melihat gadis itu.

Do you still love me?” Tanya Jae, memecah sunyi.

Rosé mendadak berhenti mengunyah. Setelah beberapa saat, ia mengangguk sebagai balasan.

Rosé tidak berbohong. Ia tak mungkin berhenti mencintai cinta pertamanya begitu saja—teman masa kecilnya, rekan paduan suara terbaiknya, dan… tunangannya. Walaupun pertunangan itu diadakan karena dulu Rosé tak memiliki pilihan lain selain menikah karena kondisi finansial.

Jae menangkap segelintir keraguan pada anggukan Rosé, namun ia mati-matian mematikan prasangka tersebut. Begitu banyak yang ia ingin tanyakan kepada Rosé—tentang dirinya, diri gadis itu, dan hubungan mereka.

Do you love him?” Tanya Jae lagi, kali ini membuat Rosé tersentak.

’him’ who?”

Another J.” Jae selalu menyebut sosok June dengan sebutan another J, karena menyebut nama lelaki yang merebut apa yang seharusnya milikmu terasa begitu pahit di lidah.

“Kami cuma teman.” Elak Rosé.

Do you love him?” Jae mengulangi pertanyaannya.

Rosé menghela nafas, “It’s complicated, you know…

“Kau hanya perlu menjawab dengan ‘ya’ atau ‘tidak’. Tell me which part is complicated?”

Jae tidak mengerti, jerit Rosé dalam hati. Jae tidak mengerti rasa terikat yang aneh dalam hatinya jika berada di dekat lelaki itu, padahal mereka hanya… teman.

Jae meraih jari-jemari Rosé, menggenggam tangan kesukaannya itu. Matanya menatap dalam ke mata gadis di depannya.

If I want you to run away with me, leaving him and all his world, would you?

 

 

Alright
Even if this is the wrong choice
Alright
Even if i regret it after
Baby
Ooh you’re going back to the guy who made you cry
Ooh the result is already out of my hands
Bang Bang!

 

June mengerang pelan ketika matahari sore menerpa wajahnya dari balik jendela kamar. Tangannya meraih telepon genggam dan melihat penunjuk waktu; pukul setengah lima sore. June mengacak-acak rambutnya sendiri, bangkit dari tempat tidur, kemudian berjalan menuju wastafel untuk membasuh wajah.

“Rosé?” Panggilnya.

Tak ada sahutan.

June berjalan ke luar kamar, kemudian ke ruang tamu, kamar mandi, hingga dapur. Matanya menangkap sebuah sticky notes merah muda di pintu kulkas.

 

I’m going to grocery shop. Some stuffs are running out of stocks.

I’ll be back asap.

XOXO,

Roséanne.

 

June mengangguk sekilas sambil ber-oh ria. Tapi sejenak kemudian ia mengerutkan dahinya. Kalau Rosé hanya pergi ke swalayan atau sejenisnya, takkan jadi masalah buat June. Hanya saja kali ini ia mencium sesuatu yang tak beres.

Sesuatu yang membuatnya dengan cepat meraih jaket dan kunci mobilnya.

 

June tak dapat menurunkan kecepatan mobilnya. Kaki kanannya terus menekan pedal gas, tak membiarkan Ferrari Californianya bergerak pelan walau sejenak. Sebelum pergi tadi, ia menyadari Mini Coopernya menghilang. June tahu bahwa swalayan yang biasa didatangi Rosé berada di arah timur, maka June memutar kemudinya ke arah barat. Jika Rosé pikir dirinya cerdik, maka June merasa gadis itu perlu tahu bahwa ada yang lebih cerdik dibandingkan dirinya.

June mencengkram kemudi mobilnya erat-erat. Jantungnya berpacu lebih cepat dari mobilnya. Bukan karena adrenalin yang ia rasakan dari mobil berkecepatan 315 kilometer per-jam itu. Bukan juga karena mobil dari arah yang berlawanan kerap membunyikan klakson karena kecepatan mobilnya di luar batas kewarasan. Melainkan karena gadis itu.

June tak pernah menyangka ia akan menemukan cinta pertamanyanya di sebuah minimarket tak terurus ketika hendak membeli rokok. Ia yang dulunya menganggap cinta hanyalah bualan belaka dijungkir-balikkan ketika mendengar suara gadis itu bicara untuk pertama kalinya. June sendiri tak mengerti apa definisi cinta itu sebenarnya, mengingat ia tak pernah hidup dengan cinta sebelum bertemu dengan gadis itu.

Kalau ia memiliki wewenang untuk menyusun kamus, ia akan menaruh Roséanne sebagai definisi dari kata cinta.

 

Sudah satu setengah jam berlalu, namun Mini Cooper yang menunjukkan tanda-tanda keberadaan Rosé tak juga tampak di pandangan June. Lelaki itu mengerang frustasi di balik kemudinya. Tangan kanannya merogoh telepon genggam, kemudian menekan nomor Rosé. Nonaktif. June meremas kemudi mobilnya. Dibandingkan cemas, ia lebih merasa geram sekarang.

Saat dirinya sedang kacau-balau, mata June mendapati mobil Mini Cooper terparkir di depan sebuah restoran. Burger King, begitu tulisan yang berada di plangnya. Hanya ada dua-tiga kendaraan terparkir di sana. June memperlambat mobilnya, kemudian memerhatikan plat nomor Mini Cooper tersebut.

Sama persis.

Tanpa keraguan, June segera memarkirkan mobilnya di samping Mini Cooper tersebut. Ia turun dari mobil, kemudian berjalan ke depan pintu restoran dan membukanya. Bahkan dari sana sudah tampak sosok yang dicarinya duduk berhadapan dengan seorang lelaki.

Firasatnya benar.

Tangan June semakin mengepal ketika melihat jemari Rosé digenggam erat oleh lelaki di depannya. Mata June menyala-nyala—emosi, amarah, dan kecemburan bercampur aduk.

Rosé melirik ke arah pintu masuk, dan terkejut melihat penampakan June dengan mata nyalangnya. Tatapan June mengisyaratkan agar dirinya pergi sekarang juga—dan yang terpenting, melepaskan genggaman lelaki di depannya.

“Jae, aku—“ Rosé berbisik pelan sambil melirik ke arah pintu, membuat Jae turut melihat ke arah sana. June menatap lelaki itu dengan tatapan penuh kebencian—seakan-akan siap membunuhnya kapan saja.

“Rosé, jawabanmu?” Tanya Jae.

Rosé menatap mata memelas Jae, kemudian melirik ke arah pintu lagi. June sudah menaikkan sebelah alisnya, dengan tatapan ‘cepat-pergi-sebelum-aku-membuat-kericuhan’. Rosé menelan ludahnya, kemudian beranjak.

“Maaf.” Bisik Rosé pelan, sebelum berjalan menuju pintu masuk.

June segera menarik pergelangan tangan kanan Rosé dengan kasar keluar dari restoran cepat saji, kemudian mendorongnya masuk ke dalam mobil. Rosé meringis karena rasa sakit di pergelangan tangannya. Tenaga lelaki di sampingnya sekarang begitu mengerikan.

June membawa mobil kembali dengan kecepatan maksimum, membuat Rosé berpikir bahwa jika salah belok sedikit maka hidup mereka bisa tamat saat itu juga. Lima belas menit kemudian, Rosé mulai mengenali jalanan yang mereka lintasi. Jalanan yang dulu sehari-hari ia lihat, sebelum hidup gilanya dengan June dimulai.

Rosé tersentak ketika menyadari tempat pemberhentian mobil mereka. Minimarket tempat ia dulu bekerja, tempat ia pertama kali bertemu dengan June. Tempatnya sangat tidak terurus—lebih parah dari terakhir kali Rosé ada di sana. Ia rasa pemiliknya-pun tak peduli lagi, atau bahkan lebih parahnya tak menyadari Rosé membawa lari semua uang di mesin kasir waktu itu.

“Turun.” Kata June dengan suara dalamnya—intonasi memerintah terdengar jelas sekali.

Rosé tak memiliki pilihan lain selain turun, dan mengekori June masuk ke dalam minimarket yang tak terkunci. June menghidupkan lampu minimarket, kemudian berhenti di depan meja kasir. Tepat di tempat ia pertama kali berbicara dengan Rosé. Matanya mengelilingi seluruh toko, entah memikirkan apa.

Rosé berjalan perlahan mengelilingi minimar itu. Matanya menangkap meja kasir tempatnya berada setiap hari dulu, tumpukan koran lama yang ia baca di kala bosan, pendingin ruangan yang kerap rusak, jejeran makanan ringan yang sering kali jatuh dari rak, juga pendingin minuman yang tak dingin lagi. Jemarinya menyentuh ringan satu-per-satu benda di sekeliling swalayan, bernostalgia dalam diam.

“Aku bilang jangan bertemu dengannya lagi.” Suara dalam June membuyarkan lamunan Rosé, membuat gadis itu menoleh.

“Kenapa kau masih saja melakukannya?”

Rosé memilih diam. Salah satu kata saja bisa membuat lelaki itu berang.

“Aku berbicara padamu, Roséanne!” Teriak June.

“Apa hakmu melarangku bertemu dengannya?!” Rosé melontarkan pertanyaan retoris dengan intonasi tak kalah marahnya. Rosé takut, bahkan pada dirinya sendiri. Ia tak menyangka emosi yang ia pendam selama ini dapat meluap juga.

“Hakku?” June mengulang perkataan Rosé, kemudian tertawa kecil. “Since you decided to follow me, you’re undercontrol, Sweetie.”

Who the hell said that?!” Rosé dapat mendengar suara nafasnya karena emosi yang begitu menguasai dirinya. “We’re just friends, deal with it.”

Alright.” June menjawab pelan. “Aku bertanya lagi, kenapa kau masih menemuinya?”

He’s my damn fiancé, what else?”

June dapat merasakan jantungnya berhenti sejenak.

Pikirannya kembali mengingat cincin yang berada di jari manis Rosé. Cincin yang masih tersemat manis di sana, bahkan setelah satu tahun perjalanan gila mereka berdua.

Fiancé, huh?” June tertawa kecil dengan nada sarkastik. “So, you still love him?”

Rosé mengacak-acak rambutnya sendiri.

The word ‘love’ itself confusing me, Jun. I don’t know.”

Then choose.” June berjalan mendekati Rosé yang berada di pojok swalayan. “Which J you prefer.”

Rosé rasanya ingin menenggelamkan dirinya sendiri entah di mana. Lelaki-lelaki dalam hidupnya selalu menanyakan pertanyaan yang sama.

Why you make me choose?” Tanya Rosé, memberanikan diri menatap mata berkilat-kilat June.

June terdiam, kemudian menjawab dengan suara dalam, “Because I love you.”

Jika bisa, Rosé ingin menjerit sekuat tenaga sekarang.

“Kau sendiri bahkan tak tahu apa itu cinta, Jun.” Lirih Rosé pelan.

“Aku tahu.” Jawab June.

No, you don’t know, gumam Rosé dalam hati berkali-kali.

“Karena aku mencintaimu. Karena aku selalu ingin kau ada di sisiku. Karena aku takut kehilanganmu. Karena aku merasakan diriku terbakar jika ada orang lain yang mendekatimu. Karena aku takkan terima jika kau memilih orang lain dibandingkan aku.” June berjalan mendekati Rosé, menerkam gadis itu dengan mata gelapnya.

“Jun, itu bukan—”

So which J you would prefer, huh?” June menaruh telapak tangannya di dinding, menyudutkan Rosé di dinding, membuat gadis itu tak dapat berkutik. “Lihat mataku.”

Rosé mengelak, membuat June harus mengangkat dagu gadis itu hingga mata mereka bertemu.

“Jawab aku!” Teriak June, berang.

Rosé terkesiap. Ia berfirasat hal buruk akan terjadi.

“K-kau. Aku memilihmu, June.” Jawab Rosé pelan.

June menatap mata Rosé semakin dalam, kemudian mendengus.

You lied.”

June merogoh kantong belakang celana denimnya dengan tangan kanan, mengambil sesuatu di dalam sana.

“Satu lagi. Aku tahu aku mencintaimu karena jika aku tidak bisa, aku tidak akan rela siapapun berada di…”

Rosé terkesiap saat melihat sebuah benda berwarna silver mengilat kini berada di tangan June, berjarak lima sentimeter dari tubuhnya.

“… di sini.”

June mengarahkan benda silver tadi lurus tepat ke arah hati Rosé.

Jun, itu bukan cinta. Itu obsesi.

Rosé ingin sekali melanjutkan perkatannya yang sempat terpotong tadi.

Tapi ia kalah cepat dengan gelegar bunyi yang ditimbulkan benda silver bernama pistol tadi.

 

 

Right now right now
Where you at right now…
Where am I right now

 

June duduk dengan tatapan kosong di sofa ruang tamu. Ini adalah hari kedua sejak malam itu, dan ini juga hari kedua sejak June merasa dirinya sudah kehilangan kewarasan.

“Rosé!”

Ia masih meneriakkan nama itu setiap hari, berkali-kali seperti kepingan kaset rusak. Ketika ia menyadari apa yang terjadi, semua barang di sekitarnya menjadi sasaran amukan. Lampu, rak buku, meja, piring, semuanya. Ia memutar film favorit mereka, namun ketika menyadari Rosé tak ada di sampingnya, ia akan membanting televisi di depannya.

Tapi malam ini June hanya duduk di sofa dengan tatapan kosong. Tak ada lagi emosi tampak di matanya seperti dua malam yang lalu. Tangan kanannya memegang telepon genggam yang menampilkan sebuah pesan dari salah satu geng-nya, Mino.

 

June, cepat cari tempat persembunyian baru. Polisi sudah menemukan kediamanmu sekarang. Prediksi ia akan sampai lima menit lagi.

 

June tersenyum miring, kemudian melempar telepon genggamnya begitu saja. Tangan kirinya menimang-nimang pistol silver kemarin, kemudian memeriksa jumlah amunisinya. Hanya bersisa satu peluru. Senyum masih tak lenyap dari bibir June. Ia meraih spidol permanen, kemudian menulis satu kata yang selalu menancap dalam jiwanya di permukaan peluru.

Rosé.

Ia kembali memasukkan peluru ke dalam pistol, kemudian menutupnya kembali. Kali ini ia meraih kertas dan menuliskan sesuatu.

 

I wrote your name in the bullet so the world will know that the last thing I think about is you, is always you.

You, my version of Bonnie; my ride or die friend, a gorgeous bitch I can’t live without, -definitely- my reason to die.”

 

Suara sirene mobil polisi terdengar sayup-sayup saat June baru saja mengangkat spidolnya dari kertas. Ia kembali menutup spidolnya, masih dengan senyum. Suara sirene semakin lama berdengung semakin keras, disusul dengan hentakan kaki puluhan orang ke depan pintu.

Jika orang berfikir bahwa cara June mencintai Rosé adalah salah, June berfikir sebaliknya.

Ini adalah caranya mencintai gadis itu.

June hanya ingin gadis itu tahu betapa dirinya mencintai gadis itu, dengan caranya sendiri.

It’s the police, open the door!

June telah mengarahkan pistol tepat ke kepalanya saat polisi mencoba mendobrak pintu. Ketika pintu berhasil didobrak, suara tembakan terdengar nyalang.

Sebuah tanda pembuktian cinta seorang June.

 

Girl
I want want you to know
Babe I want you to know
How much I love you
How much I need you

I want want you to know
Babe I want you to know
How much I love you
How much I need you

12 pemikiran pada “[Vignette] BONNIE & CLYDE

  1. ini fanfiction bener2 sukses bikin jantung melakukan atraksi..fiuuhh..cuma satu kata buat deskripsiin ff ini..WOW..keren bgt thor..apalagi udah shipperin june dan rose..berkali2 lipat lebih seneng..pemilihan kata2ny super keren, tiap deskripsiny bisa bikin baper plus histeris..salah satu author fave di sini..semangat terus thor..!!^^

    Disukai oleh 1 orang

    • Wadoh atraksi wkwkwkw makasih banyak yha:”)
      JUNE X ROSE SHIPPER AYEAAAHHHH PUT YOUR HANDS UP MATE ME TOO!!!
      Makasih banget ya sekali lagi, I really appreciate your feedback huhuhu I thought this fic gonna be a super flop lmao
      Thank you for making me your favorite, salam kenal, Zara–02L! ❤

      Suka

    • Teyimakaciiiiiiii
      YAAASSS JUNROS SHIPPER PUT YOUR HANDS IN THE AIIIRRR
      Semangat yha nungguinnya, soalnya aku sibuk sama tugas sekolah /cries/ lmao
      In the near future, just call me Zahra! Ehehehehe ❤ ❤

      Suka

  2. Halo Zara! ^^ /I know your name because you tell her at the top/

    Aku gatau kapan ngelike ff ini dan kapan mau baca bikos aku udah duluan teriak waktu ini castnya my beloved otp, JUNROS!!! ❤

    OMG LEMME A SCREAM! INI LUAR BIASA! Aku gatau author seumuranmu /02 kan? astaga aku merasa tua/ bisa buat cerita semenarik dan … seberat ini. Bonnie and Clyde, keren dan keren ❤

    Aku selalu suka bagian:
    “Do you love him?” Tanya Jae lagi, kali ini membuat Rosé tersentak.

    “’him’ who?”

    “Another J.”
    OMG INI MACEM CERITA JOKERXQUINN GAK SIH ASTAGA LUAR BIASA ❤

    Penggambaran cerita udah kece! Karakteristik dapet sangat! Diksi udah mumpuni! Ide luar biasa!
    Aku cuma mau kasih beberapa koreksi aja seperti ‘nafas’ yang harusnya ‘napas’ , ‘berfikir’ yang harusnya ‘berpikir’ dan aku nemu satu typo ‘melafakan’ yang mungkin maksudmu ‘melafalkan’ ya? 😂

    Oke itu aja sih aku gatau mau komen apalagi saking bagusnya. Jadi kesimpulanny Rose mati kan dan June jadi makin gak waras karena terlalu cinta :”) Huhu my June 😢

    Pokoknya kip writing ya dan banyak” latihan nulis! Aku yakin kedepannya tulisanmu makin luar biasa ❤
    Salam manis, Juls ❤

    Disukai oleh 1 orang

    • Yasssss halo Kak Julia!!!
      HUAAAA I KNOW I’M NOT ALONE JUNROS HARDCORE SHIPPER TOO RIGHT HERE!!!
      Iya aku 02 Line ehehehe dan sebenernya ide FF ini nganggur sebulan karena aku stuck jadi baru bisa dikebut nyelesain sampe abis dalam waktu… semalam.
      Awalnya takut ceritanya ga nyambung dan ga bisa diterima pembaca soalnya aku kebiasa buat angst fluff menye-menye gitu… trus tau-tau buat psycho… huhuhu glad you like it!!!!!
      Joker x Quinn? Suicide Squad? Tbh I don’t watch it yet lol
      Typos nya tolong dimaafin yha, soalnya itu nyelesainnya jam setengah tiga pagi dengan keadaan setengah sadar dan males ngedit ulang:”)
      Thank youuuuuuu thank you for your kind feedbacks, I really appreciate it!
      Semangat juga kak Julia ❤

      Suka

  3. Wuahh, keren bangett, baru pertama baca genre psycho dan jadi ketagihann ^^ suka banget sama konsep bonnie and clyde dan cocok sama merekaa, dan lagu dean jg enak dibuat soundtrack:)) btw, aku jg junros garis keras ;)) keep writing yakk

    Disukai oleh 1 orang

    • aduh, hai ttamii!!
      terima kasih banyak ya ❤ ini kali pertama aku buat fic ginian soalnya aku kebiasaan melow-melow-jijique gimanaaa gitu wkwkwkw
      iyaazzzz hidup DEAN!!! wah sama dong #JunRosGarisKeras wkwkwkw terima kasiiiihhh ❤ ❤

      Suka

Tinggalkan komentar